Di Indonesia pada tahun 2014 merupakan tahun politik Pemilu. Seperti diketahui
dalam negara demokrasi Indonesia merupakan suatu proses pergantian kekuasaan
secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai dengan prinsip-prinsip yang
digariskan konstitusi. Prinsip-prinsip dalam pemilihan umum yang sesuai dengan
konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan
rakyat (demokrasi) ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam
setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dari
prinsip-prinsip pemilu tersebut dapat kita pahami bahwa pemilu merupakan
kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan
dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.
Sebagai
syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus
praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative
government). Karena dengan pemilihan umum, masyarakat
secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun
memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif. Menurut Robert Dahl, bahwa pemilihan umum merupakan gambaran
ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis
tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi
sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu system politik dimana para
pembuat keputusan kolektif tertinggi didalam system itu dipilih melalui
pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Pemilu
memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya,
maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas
elit yang lebih tinggi. Sikulasi ini akan berjalan
dengan sukses dan tanpa kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan
demokratis. Di dalam studi
politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana
pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktis politik yang
memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan.
Didalam negara demokrasi, pemilihan umum merupakan salah
satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis
tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang
dilaksanakan oleh negara tersebut. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan
oleh rakyat. Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat
adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme
yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara
untuk memilih wakil rakyat.
Pemilihan
umum mempunyai beberapa fungsi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Pertama, sebagai sarana legitimasi politik. Fungsi legitimasi ini terutama
menjadi kebutuhan pemerintah dalam system politik yang mewadahi format pemilu
yang berlaku. Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan ayng berkuasa dapat
ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan
begitu, pemerintah, berdasarkan hukum yang disepakati bersama, tidak hanya
memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa
hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya. Menurut Ginsberg, fungsi
legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis yang dimiliki oleh pemilu,
yaitu untuk mengubah suatu keterlibatan poltik massa dari yang bersifat
sporadic dan dapat membahayakan menjadi suatu sumber utama bagi otoritas dan
kekuatan politik nasional.
Paling
tidak ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik
bagi pemerintah yang berkuasa. Pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya
bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik
dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi
perilaku rakyat tau warganegara. Tak mengherankan apabila menurut beberapa ahli
politik aliran fungsionalisme, pemilu bisa menjadi alat kooptasi bagi
pemerintah untuk meningkatkan respon rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang
dibuatnya, dan pada saat yang sama memperkecil tingkat oposisi terhadapnya
(Edelman, 171, Easton, 1965, Shils 1962, Zolberg, 1966). Dan ketiga, dalam
dunia modern para pengusa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat
ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya. Gramsci bahkan menunjukkan bahwa kesepakatan (consent)
yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan
bertahan lama sebagai sarana control dan pelestarian legitimasi dan otoritasnya
ketimbang penggunaan kekerasan dan dominasi.
Terkait
dengan pentingnya pemilu dalam proses demokratisasi di suatu Negara, maka
penting untuk mewujudkan pemilu yang memang benar-benar mengarah pada
nilai-nilai demokrasi dan mendukung demokrsi itu sendiri. Pemilihan akan system
pemilu adalah salah satu yang sangat penting dalam setiap Negara demokrasi,
kebanyakan dari system pemilu yang ada sebenarnya bukan tercipta karena
dipilih, melainkan karena kondisi yang ada didalam masyarkat serta sejarah yang
mempengaruhinya.
Pemilu di Indonesia
Perubahan
politik besar yang terjadi pada tahun 1998 yang ditandai oleh lengsernya
Presiden Soeharto mempunyai implikasi yang luas, salah satu diantaranya adalah
kembalinya demokrasi dalam kehidupan politik nasional. Pemilu yang betul-betul
LUBER berlangsung pada tahun 1999 dan diikuti oleh 48 parpol. Demokratisasi ini
membawa konsekuensi pola relasi antara Presiden dan DPR mengalami perubahan
cukup mendasar. Jika pada masa lalu DPR hanya menjadi tukang stempel, masa kini
mereka bertindak mengawasi presiden. Disini dicoba dilansir suatu model atau
format politik yang tidak lagi executive heavy ( atau bahkan dominan )
seperti pada masa Orde Baru, tetapi juga tidak terlalu legislative heavy seperti
pada masa orde lama atau masa Demokrasi Parlementer yang sudah menjadi stigma
negatif.
Jatuhnya rezim Soeharto pada tahun
1998 yang kemudian digantikan oleh Wakilnya BJ Habiebie memulai babak baru
dalam proses demokratisasi di Indonesia. Tidak adanya legitimasi dari para
anggota legislative produk pemilu 1997 pada mas Orde Baru mengakibatkan
banyaknya tuntutan untuk segera melaksanakan pemilu pada saat itu. BJ Habiebie
sebagai pengganti Soeharto secara konstitusional kemudian memiliki tugas utama
yakni menyelenggarakan pemilu. langkah awal Habiebie pada saat itu adalah
membentuk Tim Tujuh yang bertugas untuk mempersiapkan pemilu secara segera.
Selain itu juga, Golkar yang merupakan produk kekuasaan Orde Baru kemudian
memepersiapkan diri menjadi partai politik baru, serta perpecahan PPP menjadi
banyak partai pada saat itu merupakan langkah awal dari proses demokratisasi di
Indonesia.
Selama
pemerintahan Orde Baru bangsa Indonesia telah menjalakan Pemilihan Umum,
diawali dari tahun 1966 hingga tahun 1997 telah diadakan 6 (enam) kali
pemilihan umum secara berkala, yakni berturut-turut dari tahun 1971, tahun
1977, tahun 1982, tahun 1987, tahun 1992 dan tahun 1997, begitu pula pada era
reformasi telah diselenggarakan pemilihan umum yang diikuti oleh multipartai
tanggal 7 Juni 1999 dan pemilu berikutnya pada tanggal 5 April 2004. Terkait
dengan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 1999 rakyat hanya
memilih mereka di lembaga parlemen, setelah itu barulah anggota MPR yang
memilih Presiden dan Wakil Presiden. Bergulirnya
gerakan reformasi telah melahirkan beberapa perubahan, termasuk dalam soal
penyelenggara pemilu tahun 1999. Sistem multi partai pemilu 1999 ternyata
benar-benar membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebelumnya terbelenggu aspirasi
politiknya, karena dalam perjalanannya partai politik yang sudah ada tidak
sesuai dengan aspirasi masyarakat, partai-partai yang sudah ada hanya
mempertahankan status quo saja. Munculnya banyak partai politik dengan
segmen dan ideologi yang beragam membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebenarnya
tidak buta politik meskipun sistem pemilunya masih proporsional tanpa menyertakan
nama calegnya dalam kartu suara, tetapi pemilu pada masa reformasi menjadi
ajang kompetisi yang cukup sehat bagi para kontestan pemilu. Dari segi
kelembagaan pelaksanaan pemilu 1999 mengawali sebuah pemilu yang mendekati
demokratis, dengan adanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang di dalamnya
mempresentasikan golongan pemerintahan dan partai politik. Selain itu, terdapat
juga lembaga pengawas pemilu dan lembaga pemantau pemilu non partisan
yang bertujuan untuk mengawasi pelaksanaan pemilu.
Dari
pelaksanaan pemilu tahun 1999 ini dapat dikatakan merupakan langkah awal
meunuju proses demokratisasi di Indonesia, karena mengingat sebelumnya yakni
pada masa orde baru partai politik yang menjadi kontestan pemilu hanya 3 partai
saja, akan tetapi pada tahun 1999 begitu banyak partai politik yang ikut serta.
System pemilu dan pelembagaan pemilu juga berlangsung transparan dan dapat
mencerminkan langkah awal menuju Negara yang demokratis. Satu hal juga bahwa
dalam pemilu 1999 terdapat lembaga pengawasan pemilu yang walaupun dengan
kekurangannya, hal ini merupakan cerminan dari keinginan masyarakat akan
terwujudnya pemilu yang jujur, adil, akuntabel serta memunculkan pemimpin
sesaui dengan harapan masyarakat.
Pemilu
selanjutnya dilaksanakan adalah pada tahun 2004. Pemilu tahun 2004 ini
mempunyai makna yang sangat strategis bagi masa depan bangsa Indonesia karena
merupakan momentum ujian bagi kelanjutan agenda reformasi dan demokratisasi.
Apabila pemilu sistem multipartai pada 1999 menandai berlangsungnya transisi
demokrasi, maka pemilu tahun 2004 diharapkan menjadi momentum pulihnya
kedaulatan rakyat, tegaknya pemerintahan yang bersih serta bebas korupsi, dan
berakhirnya krisis bersegi-banyak yang dialami bangsa Indonesia.
Berbeda
dengan pemilu pada tahun 1999, pemilu pada tahun 2004 dari segi kelembagaan
pemilu ada perubahan, komposisi Komisi Pemilihan Umum tidak lagi seperti pemilu
1999. Komisi Pemilihan Umum berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2003
tidak lagi menyertakan wakil-wakil dari partai politik dan pemerintah. Selain
itu, Komisi Pemilihan Umum memiliki kewenangan yang sangat besar baik
kewenangan menyiapkan dan melaksanakan pemilu dari segi prosedur juga harus
menyediakan logistik pemilu, kewenangan yang besar itu sebenarnya dalam
praktiknya dapat berakibat pada terganggunya kinerja Komisi Pemilihan Umum,
selain juga tugas menyiapkan daftar pemilih yang tidak di dapatkan dari
Departemen Dalam Negeri. Sistem kepartaian pada pemilu tahun 2004 memang
menawarkan banyak pilihan pada rakyat dan rakyat cukup kritis dalam menjatuhkan
pilihannya, meskipun pemilu tahun 2004 diwarnai oleh berbagai kerumitan, tetapi
secara umum sistem pemilu tahun 2004 lebih baik dibandingkan pemilu sebelumnya.
Pemilih dapat menentukan sendiri pilihannya baik pilihan partainya maupun pilihan
wakil-wakilnya, sistem pemilihan dengan memilih partai, calon legislatif, calon
Presiden dan Wakil Presidennya dapat menciptakan kontrol yang kuat dari rakyat
terhadap wakilnya di lembaga legislatif maupun eksekutif, sehingga nantinya
wakil yang dipilih secara langsung oleh rakyat akan mampu menjalankan fungsi
kekuasaan pemerintahan negara.
Pemilihan
langsung Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
setelah perubahan maupun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 merupakan
masalah yang benar-benar baru bagi bangsa Indonesia. Pemilu tahun 2004 telah
membawa Indonesia memasuki babak baru dalam perpolitikan nasional, bahwa
pemilihan langsung pada pemilu kali ini merupakan perkembangan politik yang
sangat besar. Dengan adanya pemilihan langsung oleh rakyat pasca pemilu tahun
2004, maka Presiden secara politik tidak akan bertanggungjawab lagi kepada MPR
melainkan akan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilih Presiden.
Dengan
suksesnya pelaksanaan pemilihan umum tahun 2004 dan terpilihnya Presiden dan
Wakil Presiden yang merupakan hasil dari pemilu yang dilaksanakan secara
langsung oleh masyarakat, merupakan wujud dari berhasilnya proses demokratisasi
di Indonesia. Pelaksanaan pemilu tahun 2004 yang sangat sulit dan rumit, yang
bahkan mungkin saja tersulit yang pernah ada di dunia dapat dilaksanakan di
Indonesia dengan tanpa ada konflik serta perpecahan, mengingat Indonesia pada
saat itu masih berada dalam transisis demokrasi. Pemilu 2004 lah menurut saya
merupakan tonggak demokratisasi di Indonesia yang kemudian tinggal diteruskan
melalui pemilu-pemilu selanjutnya dengan penyempurnaan disana-sini yang
dianggap masih kurang. Aspek actor-aktor politik yang ada pada saat itu serta
aspek kelembagaan pada pemilu 2004 yang oleh banyak pihak akan gagal
menyelenggarakan pemilu pada saat itu terbantah dengan suksesnya pemilu 2004
dilaksanakan. Maka dapat dikatakan bahwa bangsa ini dalam konteks pemilu telah
sukses berdemokrasi melalui pelaksanaan pemilu tahun 2004.
Pemilihan
umum tahun 2009 merupakan pemilihan umum kedua yang tetap menerapkan pemilihan
langsung terhadap presiden dan wakil presiden. Secara kualitatif pilpres 2009
memang masih banyak kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang
disebabkan oleh berbagai factor. Pertama, kelemahan berada pada Undang-Undang
Nomor 42 tahun 2008 yang mengatur Pilpres. UU itu dinilai terlalu cepat
mengakomodasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan sebagai salah satu
persyaratan penyusunan daftar pemilih. Sementara administrasi kependudukan
masih belum tertib. UU Pilpres ini juga dinilai tidak memberikan kekuatan
kepada Badan Pengawas Pemilu beserta jajarannya, sehingga pengawasan tidak
berjalan efektif. Selain itu, UU Pilpres juga tidak mengakomodasi kemungkinan
penggunaan Kartu Tanda Penduduk dan paspor bagi warga negara yang memenuhi
persyaratan hak pilih, yang tujuannya menurut KPU adalah untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya kekacauan dalam DPT, padahal sebenarnya DPT yang dipakai
masih merupakan lanjuta data dari Pemilu 2004. Kelemahan kedua, KPU sebagai
penyelenggara pemilu presiden terlalu mudah dipengaruhi oleh tekanan publik,
termasuk oleh peserta pemilu. Sehingga, terkesan kurang kompatibel dan kurang
professional serta kurang menjaga citra independensi dan netralitasnya.
Kelemahan ketiga, datang dari kesadaran hukum warga negara untuk menggunakan
hak pilihnya, termasuk mengurus terdaftar dan tidaknya dalam DPT dan DPS,
sehingga jumlah warga negara yang mempunyai hak pilih dan bahkan terdaftar
dalam DPT namun tidak menggunakan hak pilihnya masih cukup banyak. Kemudian
kelemahan terakhir, budaya ‘siap menang dan siap kalah’ dalam pemilu secara
elegan belum dihayati oleh peserta pemilu beserta para pendukungnya.
Pemilihan
umum tahun 2009 sebagai pemilu ke tiga setelah reformasi memang menjadi harapan
terbesar masyarakat Indonesia untuk menyeleksi pemimpin yang memang benar-benar
berkualitas dengan melibatkan seluruh kepentingan masyarakat.. Sehingga wajar
jika semua pihak menaruh harapan bahwa pemilu 2009 akan jauh lebih berkualitas
dan lebih baik daripada pemilu-pemilu sebelumnya. Namun banyak pihak memandang
bahwa dibanding penyelenggaraan pemilu tahun 1999 dan tahun 2004, pemilu kali
ini justru menurun kualitasnya baik dilihat dari banyaknya kasus maupun angka
partisipasinya. Jumlah kasus dalam pemilu legislatif 2009 meningkat 128%
dibandingkan dengan tahun 2004 yang hanya tercatat 273 kasus. Tercatat warga
negara yang memiliki hak pilih tetapi tidak menggunakan haknya mencapai 49.
677. 076 orang atau 29,01% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap ( DPT). Jumlah
tersebut di luar warga Negara yang terpaksa tidak dapat menggunakan hak
pilihnya karena kekacauan administratif DPT. Padahal salah satu tujuan
pendidikan politik dalam konteks pemilu yang lebih bersifat nyata dan rasional adalah
meningkatnya partisipasi rakyat dalam pemilihan (electoral participation ).
Kesimpulan
Pemilu sebagai sebuah lembaga dan
praktik politik didalam Negara demokratis memang menjadi sebuah keharusan.
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang telah melaksanakan pemilu yang didorong
demokratis sebanyak 3 kali setelah bergulirnya reformasi ternyata dalam
praktiknya mengalami kemunduran yang signifikan pada pemilu ketiga yang
dilaksanakan pada tahun 2009. Kemunduran ini dapat dilihat dari pelembagaan,
kebijakan, serta manajemen pemilu yang terlihat kirang professional. Hal ini
tentu sangat disayangkan mengingat keberhasilan pemilu 2004 seharusnya dapat
menjadi modal awal bagi suksesnya pelakasanaan pemilu 2009. Peran elit politik
bangsa ini tentu sangat dibutuhkan dalam konteks yang positif untuk menjaga
lancarnya proses demokratisasi di Indonesia melalui pemilu, bukan malah
kemudian menjadikan pemilu serta pelembagaan pemilu itu sendiri tempat
bertarung para elit politik yang dapat mengakibatkan kemunduran bagi proses
demokratisasi di Indonesia.
Pada tingkat aktor
politik, kepentingan elite politik dan kepentingan partai yang bersifat jangka
pendek masih mendominasi arah transisi demokrasi di Indonesia. Semua ini tentu
saja berdampak pada tertundanya kembali konsolidasi demokrasi. Seperti
dikemukakan oleh Larry Diamond (1999), konsolidasi demokrasi tidak cukup hanya
dengan terselenggaranya pemilu secara prosedural, melainkan juga melembaganya
komitmen demokrasi pada partai-partai dan parlemen yang dihasilkannya. Dengan
begitu transisi demokrasi masih akan berlangsung dalam tarik-menarik
kepentingan pribadi, partai dan kelompok, sehingga cenderung mengarah pada
pelestarian status quo politik ketimbang menuju suatu demokrasi yang lebih baik
serta pemerintahan yang bersih dan lebih bertanggung jawab.
Sumber :
http://politik.kompasiana.com/2012/06/29/pemilu-dan-proses-demokratisasi-di-indonesia-473456.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar