Rabu, 15 Oktober 2014

Essensi Nilai Ibadah Qurban


Ada tiga peristiwa besar yang terjadi pada bulan Dzulhijjah (bulan ke dua belas qomariyah) yaitu pertama pelaksanaan ibadah haji, kedua hari raya ‘idul adha, dan ketiga adalah pelaksanaan dari udhiyah atau penyembelihan hewan qurban itu sendiri. Ketiga ibadah ini satu sama lain saling terkait, bahkan idhul adha sendiri sesungguhnya memiliki keterkaitan makna dengan ‘dhul fithri. Begitu besar dan sakralnya perayaan idul adha, umat Islam selalu menyambutnya dengan gegap gempita dan penuh suka cita. Lantunan takbir menjelang ‘idul adha selalu bergemuruh dan menggema menembus langit-langit dunia mengiringi perginya senja hari pelaksanaan shalat ‘idul adha.

Meningkatnya kesadaran religius umat Islam yang ditandai dengan menggelembungnya kuantitas hewan qurban merupakan fenomena yang menggembirakan. Hal itu perlu di syukuri nikmat Allah SWT yang dianugerahi kepada umat Islam. Dengan qurban maka umat Islam menghapus rasa kebinatangan dan ketamakan pada diri manusia. Untuk itu, dengan berbagi dengan daging qurban maka tingkat sosial kita semakin meningkat dan sensitif terhadap lingkungan masyarakat kita.

Qurban dan Idul Adha itu sendiri seringkali hanya dipahami sebatas ibadah ritual keagamaan yang rutin. Artinya, setiap umat Islam yang melaksanakan ibadah qurban dan shalat Idul Adha hanya mengharap pahala atau surga. Setiap yang melakukan ibadah qurban yang terbayang selalu besarnya pahala dan nikmatnya masuk surga akibat imbalan dari perbuatan qurban yang pernah dilakukan. Adapun nilai atau makna ritual dari ibadah qurban apalagi makna sosialnya seringkali terlupakan. Akibat nyata yang dirasakan, ibadah qurban tidak mampu melahirkan nilai praktis dalam kehidupan masyarakat.

Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Isma'il tercinta dalam surat Al-Shafat, ayat : 102-109. Dalam Kisahnya diceritakan; Nabi Ibrahim berkata kapada Nabi Ismail : "Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu?"

Nabi Ismail menjawab seketika dengan tenang dan penuh keyakinan : "Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan (oleh Allah) kepadamu, kau akan mendapatkanku - insya Allah - termasuk orang-orang yang sabar".


Allah SWT kemudian bercerita :
"Tatkala keduanya telah berserah diri (tunduk pada perintah Allah) dan Ibrahim membaringkan anaknya (pelipsnya menimpel di atas tempat penyembelihan), Kami segera memanggil (dari arah gunung) : wahai Ibrahim, Sudah kau benarkan (dan kau laksanakan) apa yang kau lihat dalam mimpimu itu, sesungguhnya demikinlah Kami memeberi balasan (kepadamu) dan juga kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh (perintah penyembelihan ini) adalah benar-benar ujian (bagi Ibrahim, di mana dengannya terlihat dengan jelas siapa yang ikhlash dan siapa yang tidak). Dan kami segera menebus anak (yang akan disembelih itu) dengan seekor sembelihan yang besar. Pun Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Salam sejahtera (dari Kami) buat Ibrahim  dan sebutan yang baik baginya (dari setiap manusia)"

Hikmah yang perlu kita ambil:

a. Kepribadian Nabi Ibrahim, yang demikian total menunjukkan ketaatannya kepada Allah. Tidak terlihat dalam sikapnya sebuah keraguan, atau keberatan. Begitu menerima perintah dari Allah untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail, - anak yang ditunggu-tunggu kelahirannya sekian lama sampai ia mencapai usia tua - Nabi Ibrahim langsung mendatangi Ismail dan menyampaikan perintah tersebut. Padahal secara psikologis Nabi Ibrahim sungguh sangat membutuhkan seorang keuturunan. Bayangkan, di tengah pengembaraan yang jauh, di sebuah lembah padang sahara yang kering, tanpa pohonan dan tanaman, Nabi Ibrahim hidup. Ditambah lagi usianya yang memang sudah sangat mebutuhkan seorang anak muda untuk menopang ketidakmampuannya. Tapi lihatlah, totalitas penyerahan diri Nabi Ibrahim kepada Sang Pemilik Bumi dan langit.

b. Kepribadian Nabi Ismail, yang benar-benar memahami keaguangan perintah Allah. Artinya bahwa perintah itu harus segera dilaksanakan. Tidak usah ditawar-tawar dan ditunda-tunda lagi. Seketika ia berserah diri dengan penuh kesabaran. Sungguh ungkapan Nabi Ismail dengan panggilan "yaa abati" mengekspresikan kecintaan nabi Ismail dan kedekatannya kepada sang ayah, pun juga kepasrahan totalnya terhadap perintah Allah, dimana dengan ungkapan itu tergambar dengan jelas bahwa ia tidak merasa kaget sama sekali. Melainkan langsung menerimanya dengan lapang dada dan penuh kepasrahan.

c. Sikap Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, yang tanpa banyak bicara dan diskusi dalam menerima "isyarat" yang terlihat dalam mimpinya "ru'ya", di mana kaduanya langsung bergerak menuju tempat penyembelihan. Nabi Ismail langsung berbaring, meletakkan pelipisnya ke bumi. Nabi Ibrahim langsung bergerak untuk menyembelihnya. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengharukan. Dan dari peristiwa itu terlihat dengan jelas hakikat kepasrahan dan ketaatan yang hakiki dari kedua hamba tersebut, kepada Allah, Tuhannya. Allah seketika menyaksikan kesungguhan kedua hamba itu dalam mentaati perintah-Nya. Allah berfirman "qad saddaqta ru'ya", kau telah membenarkan "ru'ya" itu (wahai Ibrahim), dan kau telah melaksanakannya. Allah seketika pula menggantikan Nabi Ismail dengan seekor sembelihan yang besar.

Hakikat qurban ini, adalah sejauh mana tingkat kepasrahan sang hamba kepada Allah SWT .., sejauh mana tingkat ketaatannya kepada-Nya.. , sejauh mana tingkat ketabahannya dalam menjalani ajaran yang telah Allah tetapkan.

"... Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertaqwa". (QS. Al-Maidah [5]:27)

" Sesungguhnya daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya ... (QS. Al-Hajj [22]:37)

“ Kamu sekali-kali tidak akan sampai pada kebajikan (Al-Birr) yang sempurna, sebelum kamu menginfakkan (tunfiquu) bagian (harta) yang kamu cintai (mimma tuhibbuun). Dan apa saja yang kamu infakkan (tunfiquu), maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. ” (QS. Aali Imran [3]:92).


“ Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah dirimu’ dan ‘keluarlah dari kampungmu’, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya jikalah mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian adalah lebih baik bagi mereka, dan lebih menguatkan.” (QS. An-Nisa [4]:66)


Jadi ibadah qurban adalah perlambang kesediaan/pengorbanan seorang hamba untuk mengorbankan sesuatu yang dicintai dalam rangka taqarrub dan mengabdikan diri di kepada Allah.

Dengan pengorbanan itu Allah hendak menguji , seberapa besar seorang hamba mampu mengedepankan perintah Allah dari nafsu-nafsu pribadi dan yang lainnya , yang kesudahannya segalanya kembali kepada Allah ,Dzat yang Maha Penyayang lagi Maha Penyantun .

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya” (QS. Saba: 39).

Maha Besar Allah , Semoga Rahmat , ampunan dan karunia Nya senantiasa menyertai setiap langkah kita . Aamiin yaa Robbal alamin ..

Sumber :
http://laillanm.blogspot.com/2012/10/hikmah-dan-makna-qurban.html
http://alislamiyah.uii.ac.id/2013/02/06/makna-dan-nilai-ibadah-haji-dan-qurban-perspektif-ritual-dan-sosial/

by : M. Purnaegi. S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar