Oleh : Mochamad Purnaegi Safron
Keuntungan sedekah tidak dapat
dihitung dengan rumus matematika konvensional. Yusuf Mansur mempopulerkan
istilah matematika sedekah. Mengacu kepada ajaran Islam bahwa sedekah satu akan
dilipatkan menjadi sepuluh, Yusuf Mansur kemudian membuat rumus demikian:
sepuluh ribu dikurangi seribu untuk sedekah, hasilnya adalah sembilan belas
ribu. Jika dikurangi dua ribu untuk sedekah, hasilnya menjadi dua puluh delapan
ribu.
Itulah rumus matematika sedekah, yang
merupakan perasan dari sejumlah keterangan dalam Alquran dan hadis. Allah
sendiri berulang kali menegaskan bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta.
Dalam pandangan awam, harta memang berkurang ketika dipakai untuk sedekah.
Tetapi, dalam kaca mata iman tidaklah demikian.
“Dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri,
dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan
Allah, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan
diberi pahalanya dengan cukup, sedangkan kamu sedikit pun tidak akan
dirugikan.” [QS Al-Baqarah/2: 272].
Perhatikan, ayat di atas menggarisbawahi “harta yang baik” dan “di jalan Allah”. Karena, sangat boleh jadi orang melakukan sedekah tetapi dengan harta yang tidak baik. Misalnya, membangun masjid dari praktik korupsi, mendirikan pesantren dari hasil pelacuran, membantu panti asuhan dari bisnis narkoba, dan seterusnya. Tidak sedikit pula orang yang mengeluarkan uang dalam jumlah besar hanya untuk menyukseskan perbuatan atau kegiatan yang tidak baik. Lihatlah para konglomerat yang rela merogoh kocek miliaran rupiah untuk menyelenggarakan pagelaran Miss World, kandidat pemimpin yang mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli suara, tersangka hukum yang memberikan gratifikasi triliunan rupiah untuk menyuap hakim, dan seterusnya.
Harta tidak baik yang digunakan
di jalan Allah dan harta baik yang digunakan di jalan setan, keduanya tidak
bernilai sedekah di mata Allah. Sedekah harus memenuhi dua kriteria,
sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas, yaitu harta baik yang disalurkan di
jalan Allah. Itulah harta yang tidak sia-sia, karena Allah akan memberikan
ganti secara berlipat ganda.
Janji Allah tidak pernah dusta.
Kewajiban orang beriman adalah meyakininya dengan segenap hati. Rasulullah
sendiri pernah menginformasikan, “Tiada sehari pun sekalian hamba memasuki
suatu pagi, kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari keduanya
berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya’.
Sementara yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kebinasaan kepada orang yang
menahan hartanya’.” [HR Bukhari dan Muslim].
Mengelola harta memang bukan
perkara mudah. Harta kerap mendatangkan keberuntungan, tetapi, jika salah
menggunakan, harta justru menghasilkan kebuntungan. Karena itu, Islam
memberikan panduan lengkap seputar cara mengelola harta agar kepemilikan harta
berujung keberuntungan, bukan kebuntungan. Salah satunya adalah lewat ajaran
sedekah. Harta yang disedekahkan, itulah harta yang sebenarnya, karena akan
kekal sampai di alam baka. Yang berada di tangan tidak lain akan menjadi hak
ahli waris.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah
pernah bertanya, “Siapakah di antara kamu yang lebih menyukai harta ahli
warisnya daripada hartanya sendiri?” Serentak para sahabat menjawab, “Ya
Rasulullah, tiada seorang pun dari kami, melainkan hartanya adalah lebih
dicintainya.” Beliau kemudian bersabda, “Sungguh harta sendiri ialah apa yang
telah terdahulu digunakannya, sedangkan harta ahli warisnya adalah segala yang
ditinggalkannya (setelah dia mati).” [HR Bukhari dan Muslim].
Hadis di atas, dengan demikian,
secara tidak langsung mengingatkan bahwa harta yang ada di tangan kita
sebenarnya hanya titipan Allah. Supaya manfaatnya masih dapat dirasakan sampai
kita kembali ke akhirat, maka harta itu harus dinafkahkan di jalan kebaikan
semasih hidup di dunia. Lebih membahagiakan, balasan Allah bahkan sering tidak
harus menunggu di akhirat, tetapi langsung Dia tunaikan ketika kita masih hidup
di dunia berupa rezeki yang melimpah.
Rezeki adalah segala pemberian
Allah untuk memelihara kehidupan. Dalam hidup, ada dua jenis rezeki yang
diberikan Allah kepada manusia, yaitu Rezeki Kasbi (bersifat usaha) dan Rezeki
Wahbi (hadiah). Rezeki Kasbi diperoleh lewat usaha dan kerja. Tetapi Rezeki
Wahbi datangnya di luar prediksi manusia, kadang malah tidak memerlukan jerih
payah. Karena Rezeki Wahbi merupakan wujud sifat rahim Allah, maka orang yang
gemar melakukan sedekah sangat berpeluang mendapatkan rezeki jenis terakhir
ini. Indah Allah melukiskan dalam Alquran.
“Permisalan (nafkah yang
dikeluarkan) orang-orang yang menafkahkan harta di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah/2: 261].
Sangat banyak ayat Alquran dan
hadis Rasulullah yang mengungkap keuntungan sedekah. Setiap kita berpeluang
mendapatkan keuntungan itu sepanjang gemar melakukan sedekah disertai keyakinan
mantap terhadap kemurahan Allah. Tidak ada ceritanya kemiskinan karena sedekah.
Tidak pula orang membuka pintu permintaan, melainkan Allah membuka untuknya
pintu kemiskinan.
Sebab itu, jangan lagi berusaha
mentotal keuntungan sedekah dengan rumus matematika seperti umumnya kita mentotal
hasil keuntungan perdagangan atau penjualan barang-barang kita.
Sumber : Republika.Co.Idi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar